Posted by : Unknown Minggu, 27 Desember 2015



A.      PENGERTIAN NEGARA
Secara historis pengertian negara senantiasa berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Pada zaman Yunani kuno para ahli filsafat negara merumuskan pengertian negara secara beragam.
1.       Aristoteles (384-322 SM), merumuskan negara dalam bukunya Politica, yang disebutnya sebagai negara polis, yang pada saat itu masih dipahami negara dalam suatu wilayah yang kecil.
2.       Agustinus, ia membagi negara dalam dua pengertian Civitas Dei yang artinya Tuhan, Civitas Terrena atau Civitas Diaboli yang artinya negara duniawi. Civitas Terrana ini ditolak oleh Agustinus, sedangkan yang dianggap baik adalah negara Tuhan atau Civitas Dei. Negara Tuhan bukanlah negara dari dunia ini, melainkan jiwanya yang dimiliki oleh sebagaian atau beberapa orang di dunia ini untuk mencapainya.
3.       Nicollo Machiavelli (1469-1527), yang merumuskan  negara sebagai negara kekuasaan, dalam bukunya ‘ II Principle ‘ yang dahulu merupakan buku referensi pada raja. Machiavelli memandang negara dari sudut kenyataan bahwa dalam suatu negara harus ada suatu kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin negara atau raja.
4.       Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan Rousseau (1712-1778). Mereka mengartikan negara sebagai suatu badan atau organisasi hasil dari perjanjian masyarakat secara bersama. Menurut mereka, manusia sejak dilahirkan telah membawa hak-hak asasinya seperti hak untuk hidup, hak milik serta hak kemerdekaan. Dalam keadaan alamiah sebelum terbentuknya negara, hak-hak tersebut belum ada yang menjamin perlindungannya, sehingga dalam status naturalis, yaitu sebelum terbentuknya negara, hak-hak masyarakat tersebut. Dalam keadaan naturalis sebelum terbentuknya negara, menurut Hobbes akan terjadi homo homini  lupus, yaitu manusia menjadi serigala bagi manusia lain, dan akan timbul suatu perang semesta yang disebut sebagai belum omnium contre omnes dan hukum yang berlaku adalah hukum rimba.
Berikut ini konsep pengertian negara modern yang dikemukan oleh para tokoh
1.       Roger H. Soltau, mengemukakan bahwa negara adalah sebagai alat agency atau wewenang lauthority yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat (Soltau, 1961).
2.       Harold J. Lasky, bahwa negara adalah merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok, yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk tercapainya suatu tujuan bersama. Masyarakat merupakan suatu negara manakala cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun kelompok-kelompok, ditentukan suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat (Lasky, 1947 : 8-9)
3.       Max Weber mengemukakan pemikirannya bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik sah dalam suatu wilayah (Weber, 1958: 78)
4.       Mc. Iver menjelaskan bahwa negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengen berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang demi maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (Iver, 1955: 22)
5.       Mariam Budiardjo Guru Besar Ilmu Politik Indonesia mengemukakan, bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (govemed) oleh sejumlah pejabat dan berhail menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan, monopolos dari kekuasaan yang sah (Budiardjo, 1985: 40-41)
Berdasarkan pengertian yang dikemukan oleh berbagai filsuf serta para sarjana tentang negara, maka dapat disimpulkan bahwa semua negara memiliki unsur-unsur yang mutlak harus ada. Unsur-unsur negara adalah: Wilayah atau derah teritorial yang sah, rakyat yaitu suatu bangsa sebagai pendukung pokok negara dan tidak terbatas hanya pada salah satu etnis saja, serta pemerintahan yang sah diakui dan berdaulat.
Negara Indonesia
Meskipun ditinjau berdasarkan unsur-unsur yang membentuk negara, hampir semua negara memiliki kesamaan, namun ditinjau dari segi tumbuh dan terbentuknya negara serta susunan negara, setiap negara di dunia ini memiliki spesifikasi serta ciri khas masing-masing.
                Bangsa dan Negara Indonesia tumbuh dan berkembang dengan dilatar belakangi oleh kekuasaan dan penindasan bangsa asing seperti penjajah Belanda serta Jepang. Oleh karena itu bangsa Indonesia  tumbuh dan berkembang dilatar belakangi oleh adanya kesatuan nasib, yaitu bersama-sama dalam penderitaan di bawah penjajahan bangsa asing serta berjuang merebut kemerdekaan. Selain itu yang sangat khas bagi bangsa Indonesia  adalah unsur-unsur etnis yang membentuk bangsa itu sangat beraneka ragam, baik latar belakang budaya seperti bahasa, adat kebiasaan serta nilai-nilai yang dimilikinya. Oleh karena itu terbentuknya bangsa dan negara Indonesia melalui proses yang cukup panjang. Sejak masa sebelum bangsa asing menjajah Indonesia, seperti masa kejayaan kerjaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan kerajaan-kerajaan lainnya. Kemudian datanglah bangsa asing ke Indonesia saat itu bertekad untuk membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut bangsa, sebagai unsur pokok negara melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Isi sumpah itu merupakan suatu tekap untuk mewujudkan unsur-unsur negara yaitu satu nusa (wilayah) negara, satu bangsa (rakyat), dan satu bahasa, sebagai bahasa pengikat dan komunikasi antar warga negara, dan dengan sendirinya setelah kemerdekaan kemudian dibentuklah suatu pemerintahan negara.
                Prinsip-prinsip negara Indonesia dapat dikaji melalui makna yang terkandung didalam  Pembukaan UUD 1945 Alinea I, menjelaskan tentang latar belakang terbentuknya negara dan bangsa Indonesia, yaitu tentang kemerdekaan adalah hak kodrat segala bangsa di dunia, dan penjajahan itu tidak sesuai dengan peri kemanusian dan peri keadilan oleh karena itu harus dihapuskan. Alinea II menjelaskan tentang perjalanan perjuangan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan, alinea III menjelaskan tentang kedudukan kodrat manusia Indonesia sebagai bangsa yang religius yang kemudian pernyataan kemerdekaan. Adapun Alinea IV, menjelaskan tentang terbentuknya bangsa dan negara Indonesia, yaitu adanya  rakyat Indonesia, pemerintahan negara Indonesia yang disusun berdasarkan UUD negara, wilayah negara serta dasar filosofis negara yaitu Pancasila (Notonagoro, 1975)
B.      KONSTITUSIONALISME
Setiap negaar modern dewasa ini senantiasa memerlukan suatu sistem peraturan yang dijabarkan dalam suatu konstitusi. Oleh karena itu konstitusionalisme mengacu kepada pengertian sistem institusionalisasi secara efektif dan teratur terhadap suatu pelaksanaan pemerintahan. Dengan lain perkataan untuk menciptakan suatu tertib pemerintahan diperlukan pengaturan sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan (Hamilton, 1931: 255). Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespon perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam suatu kehidupan umat manusia.
Ketika negara-negara bangsa (nation states) mendapatakan bentuknya yang sangat kuat, sentralistis dan sangat berkuasa selama abad ke-16 dan ke-17, berbagai teori politik berkembang untuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan sistem yang kuat tersebut.
Basis pokok konstitusionalisme adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkaitan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara (Andrewas, 1968: 9). Oleh karena itu kata kuncinya adlah konsensus general agreement. Jika kesepatakan itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya dapat terjadi civil war atau perang sipil, atau dapat pula suatu revolusi. Dalam sejarah perkembangan negara di dunia peristiwa tersebut terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika tahun 1776, di Rusia tahun 1917 bahkan di Indonesia terjadi tahun 1945, 1965, dan 1998.
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern dewasa ini pada umumnya dipahami berdasar pada tiga elemen kesepakatan atau konsensus, sebagai berikut:
1.       Kesepatakan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of goverment).
2.       Kesepatakan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of goverment).
3.       Kesepatakan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institusions and procedurs). (Andrews 1968: 12)
Kesepatan pertama yaitu berkenaan dengn cita0cita bersama yang sangat menentukan tegaknya konstitusionalisme dan konstitusi dalam suatu negara. Karena cita-cita bersama itula yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan bahkan melahirkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang adlam kenyataannya harus hidup ditengah-tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, pada suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita Negara) yang berfungsi sebagai philosofhiscegronslaag dan comon platforms, diantara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.
Bagi bangsa Indonesia dasar filosofis yang dimaksud adalah dasar filsafat negara Pancasila. Lima prinsip dasar yang merupakan dasar filosofis bangsa Indonesia tersebut adalah:
1.       Ketuhanan Yang Maha Esa
2.       Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.       Persatuan Indonesia
4.       Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.       Keadalian sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Kelima prinsip dasar filsafat negara tesebut merupakan dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan cita-cita ideal dalam bernegara yaitu:
1.       Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
2.       Meningkatkan (memajukan) kesejahteraan umum
3.       Mencerdaskan kehidupan bangsa
4.       Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadalian sosial.
Kesepatakan kedua, adalah kesepatakan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepatakan kedua ini juga sangat prinsipial, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa dalam segala hal dalam penyelenggaraan negara harus didasarkan atas rules of law. Bahka di Amerika dikenal istilah The Rule of law, and not rule of man” untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia.
Istilah “The Rule of law” harus dibedakan dengan istilah “The Rule by Law”. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digambarkan hanya bersifat instrumentalis atau hanya sebagai alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu “The Rule of Man by Law”. Dalam pengertian yang demikian, hukum dapat dipandangan sebagai suatu kesatuan sistem yang puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang disebut konstitusi, baik dalam arti  naskah yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dari pengertian ini kita kenal istilah constitutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Oleh karena itu kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikann pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak berguna, karena ia sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
Kesepatakan ketiga, adalah berkenaan dengan (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang  mengatur kekuasaan, (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepatan tersebut, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama, berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraa yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para perancang dan perumus konstitusi tidak seharusnya membayangkan bahwa konstitusi akan diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan UUD memang sudah seharusnya tidak diubah semudah mengubah UU. Meskipun  demikian seharusnya konstitusi tidak disakralkan dari kemungkinan perubahan seperti yang terjadi tatkala Orde Baru.
Keseluruhan kesepatan itu pada intinya menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Atas dasar pengertian tersebut maka sebenarnya prinsip konstitusionalisme modern adalah menyangkut  prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim disebut sebagai prinsip limited goverment. Dalam pengertian inilah maka konstituionalisme megnatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu :
1.       Hubungan antara pemerintahan dengan warga negara
2.       Hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lainnya.
C.      KONSTITUSI INDONESIA
                  I.            PENGANTAR
Dalam proses reformasi hukum dewasa ini, berbagai kajian ilmiah tentang UUD 1945, banyak yang melontarkan ide untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Memang amandemen tidak dimaksudkan untuk mengganti sama sekali UUD 1945, akan tetapi merupakan prosedur penyempurnaan terhadap UUD itu sendiri, amandemen lebih merupakan perlengkapan dan rincian yang dijadikan lampiran otentik bagi UUD tersebut (Mahfud, 1999: 64). Dengan sendirinya amandemen dilakukan dengan melakukan berbagai perubahan pada pasal – pasal maupun memberikan tambahan-tambahan.
Ide tentang amandemen terhadap UUD 1945 tersebut didasarkan pada suatu kenyataan sejarah selama masa Orde Lama dan Orde Baru, bahwa penerapan terhadap pasar-pasal UUD memiliki sifat “multi interpretable” atau dengan kata lain berwayuh arti, sehingga mengakibatkan adanya sentralisasi kekuasaan terutama kepada presiden. Karena latar belakang politik inilah maka amsa Orde Baru berupaya untuk melestarikan UUD 1945 bahwa UUD 1945 seakan-akan bersifat keramat yang tidak dapat diganggu gugat.
Suatu hak yang sangat mendasar bagi pentingnya amandemen UUD 1945 adalah tidak adanya sistem kekuasaan dengan “checks and balances” terutama terhadap kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu bagi bagsa Indonesia proses reformasi terhadap UUD 1945 adalah merupakan suatu keharusan, karena hal itu akan mengantarkan bangsa Indonesia ke arah tahapan baru melakukan penataan terhadap ketatanegaraan.
Amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak tahun 1999, di mana perubahan terhadap pasal 9 UUD 1945. Kemudian amandemen kedua dilakukan pada tahun 2000, amandemen ketiga  dilakukan pada tahun 2001, dan amandemen terakhir dilakukan pada tahun 2002 dan disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Demikian bangsa Indonesia memasuki suatu babakan baru dalam kehidupan ketatanegaraan yang diharapkan membawa ke arah perbaikan tingkat kehidupan rakyat. UUD 1945 hasil amandemen 2002 dirumuskan dengan melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan politik, sehingga diharapkan struktur kelembagaan negara yang lebih demokratis ini akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
               II.            HUKUM DASAR TERTULIS (UUD)
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa pengertian hukum dasar meliputi dua macam yaitu, hukum dasar tertulis (UUD) dan hukum dasar tidak tertulis (convensi). Oleh karena itu sifatnya yang tertulis, maka UUD itu rumusannya tertulis dan tidak mudah berubah. Secara umum menurut E.C.S. Wade dalam bukunya Constitutional Law, UUD menurut sifat dan fungsinya adalah suatu naskah yang memaparkan kerangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
Jadi prinsipnya mekanisme dan dasar dari setiap sistem pemerintahan diatur dalam UUD. Bagi mereka yang memandang negara ini dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai suatu organisasi kekuasaan, maka UUD dapat dipadang sebagai lembaga atau sekumpulan asas yang menetapkan sebagaimana kekuasaan tersebut dibagi antara Badan Legislatif, Eksekutif dan Badan Yudikatif.
UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain. UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara (Budiardjo, 1981: 95,96)
Dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD 1945 bersifat singkat dan supel. UUD 1945 hanya memiliki 37 pasal, adapun pasal-pasal lain hanya memuat aturan peralihan dan aturan tambahan. Hal ini megandung makna:
1.       Telah cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya membuat membuat garis-garis besar instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan negara, untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial.
2.       Sifatnya yang suple (elastic) dimaksudkan bahwa kita senantiasa harus ingat bahwa masyarakat itu harus terus berkembang, dinamis. Nagara Indonesia akan terus tumbuh berkembang seiring dengan perubahan zaman. Berhubungan dengan itu janganlah terlalu tergesa-gesa memberikan kristalisasi, memberikan bentuk kepada pikiran-pikiran yang masih berubah. Memang sifat aturan yang tertulis itu bersifat mengikat, oleh karena itu makin supel sifatnya aturan itu semakin baik. Jadi kita harus menjaga agar supaya sistem dalam UUD itu jangan ketinggalan zaman.
Menurut padmowahyono, seluruh kegiatan negara dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu:
1.       Penyelenggaraan kehidupan negara
2.       Penyelenggaraan kesejahteraan sosial
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas, maka sifat-sifat UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1.       Oleh karena sifatnya tertulis maka rumusannya jelas, merupakan suatu hukum positif yang mengikat pemerintah sebagai penyelenggara negara, maupun mengikat bagi setiap warga negara.
2.       Sebagaimana tersebut dalam penjelasan UUD 1945 bahwa UUD 1945 bersifat singkat dan supel, memuat aturan-aturan yaitu memuat aturan-aturan pokok yang setiap kali harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman, serta memuat hak-hak asasi manusia.
3.       Memuat norma-norma, aturan-aturan serta ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus dilaksanakan secara konstitusional.
4.       UUD 1945 dalam tertib hukum Indonesia merupakan peraturan hukum positif yang tertinggi, disamping itu sebagai alat kontrol terhadap normal-norma hukum positif yang lebih rendah dalam hirarki tertib hukum Indonesia.
             III.            HUKUM DASAR TIDAK TERTULIS (CONVENSI)
Convensi adalah hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun sifatnya tidak tertulis. Convensi ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1.       Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.
2.       Tidak bertentangan dengan UUD dan berjalan sejajar
3.       Diterima oleh seluruh rakyat
4.       Bersifat sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai aturan-aturan dasar yang tidak terdapat dalam UUD
Contoh-contoh Convensi antara lain sebagai berikut:
1.       Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat. Menurut pasal 37 ayat (4) UUD 1945, segala keputusan MPR diambil berdasarkan suara terbanyak. Akan tetapi sistem ini dirasa kurang jiwa kekeluargaan sebagai kepribadian bangsa, karena itu dalam praktek-praktek penyelenggaraan negara selalu diusahakan untuk mengambil keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dan ternyata hampir selalu berhasil. Pungutan suara baru ditempuh, jikalau usaha musyawarah untuk mufakat sudah tidak dapat dilaksanakan. Hal yang demikian ini murupakan perwujudan dari cita-cita yang terkandung dalam Pokok Pikiran Kerakyatan dan Permusyawaratan/Perwakilan.
2.       Praktek-praktek penyelenggaraan negara yang sudah menjadi hukum dasar tidak tertulis antara lain:
a.       Pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia setiap tanggal 16 Agustus di dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat.
b.       Pidato Presiden yang diucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada minggu pertama pada minggu bulan Januari setiap tahunnya.
Ketiga hal tersebut dalam batinnya secara tidak langsung adalah merupakan realisasi dari UUD. Namun perlu digaris bawahi bilamana convensi ingin dijadikan rumusan yang tertulis, maka yang berwenang adalah MPR, dan rumusannya bukanlah merupakan suatu hukum dsara melainkan tertuang dalam ketetapan MPR.
Jadi convensi bilaman dikehedaki untuk menjadi suatu aturan dasar yang tertulis, tidak secara otomatif setingkat dengan UUD, melainkan sebagai suatu ketetapan MPR.
             IV.            KONSTITUSI
Disamping pengertian UUD, dipergunakan juga istilah lain yaitu “Konstitusi”. Istilah berasal dari bahasa Inggris “Constitution” atau berasal dari bahasa Belanda “Constitutie”. Terjemahan dari istilah tersebut adalah UUD, dan hal ini memang sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan Jerman, yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata “Grondwet” (Grond = dasar, wet = undang-undang) yang keduanya menunjukkan naskah tertulis.
Namun pengertian konstitusi dalam praktek ketatanegaraan umumnya dapat mempunyai arti:
1.       Lebih luas daripada UUD atau
2.       Sama dengan pengertian UUD
Kata konstitusi dapat mempunyai arti lebih luas dari pada pengertian UUD, karena pegnertian UUD hanya meliputi konstitusi tertulis saja, dan selain itu masih terdapat konstitusi tidak tertulis yang tidak tercakup dalam UUD.
Dalam praktek ketatanegaraan negara Republik Indonesia pengertian konstitusi adlaah sama dengan pengertian UUD. Hal ini terbukti dengan disebutkannya istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat bagi UUD Republik Indonesia Serikat (Totopandoyo, 1981: 25.26)
               V.            SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD 1945 HASIL AMANDEMEN 2002
Sistem pemerintahan negara Indonesia sebelum dilakukan amandemen dijelaskan seacar terinci dan dalam penjelasan UUD 1945. Sistem pemerintahan negara Indonesia ini dibagi atas tujuh yang secara sistematis merupakan pengejawantahan kedaulatan rakyat oleh karena itu sistem pemerintahan negara ini dikenal, dengan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara menurut penjelasan tidak lagi merupakan dasar yuridis, namun tujuh kunci pokok tersebut mengalami perubahan. Oleh karena itu sebagai studi komparatif, sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 setelah amandemen, dijelaskan sebagai berikut.
                            i.      Indonesia ialah Negara Yang Berdasarkan Atas Hukum (Rechtstaat)
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat), hal ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya Pemerintahan dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun, harus dilandasi oleh peraturan hukum atau harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Tekanan pada hukum (recht) disini dihadapkan pada kekuasaan (macht). Prinsip dari sistem ini disamping akan tampak dalam rumusannya dalam pasal-pasalnya, juga akan sejalan dan merupakan pelaksanaan dari pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan oleh cita-cita hukum (rechtsidee) yang menjiwai UUD 1945 dan hukum dasar yang tidak tertulis.
Sesuai dengan semangat dan ketegasan Pembukaan UUD 1945, jelas bahwa negara hukum yang dimaksud berarti negara bukan hanya sebagai polisi lalu lintas atau penjaga malam saja, yang menjaga jangan sampai terjadi pelanggaran dan menindak pada pelanggar hukum. Pengertian negara hukum baik dalam arti formal yang melindungin seluruh warga dan seluruh warga dan seluruh tumpah darah, juga dalam pengertian negara hukum material yaitu negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kecerdasan seluruh warganya.
Dengan landasan dan semangat negara hukum dalam arti material itu, setiap tindakan negara haruslah mempertimbang dua kepentingan atau landasan, ialah kegunaanya (doelmatigheid) dan landasan hukumnya (rechtmatigheid). Dalam segala hal harus senantiasa diusahakan agar setiap tindakan negara (pemerintah) itu selalu memenuhi dua kepentingan  atau landasan tersebut. Adalah suatu seni tersendiri untuk mengambil keputusan yang tepat apabila ada pertentangan kepentingan atau salah satu kepentingan tidak terpenuhim sehingga harus dilakukan secara bijaksana yang dengan sendirinya harus senantiasam berlandasan atas peraturan hukum yang berlaku.
                          ii.       Sistem Konstitusional
Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Sistem ini memberikan penegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan hukum lain merupakan produk konstitusional, Ketetapan MPR, UUD dan sebagainya. Dengan demikian sistem ini memperkuat dan menegasakan lagi sistem negara hukum seperti dikemukakan diatas.
Dengan landasan kedua sistem hukum dan sistem konstitusional diciptakan sistem mekanis hubungan dan hukum antar lembaga negara, yang sekiranya dapat menjamin terlaksananya sistem itu sendiri dan dengan sendirinya juga dapat memperlancar pelaksanaan pencapaian cita-cita nasional.
                         iii.      Kekuasaan Negara yang Tertinggi di Tangan Rakyat
Sistem kekuasaan tertinggi sebelum dilakukan amandemen dinyatakan dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai berikut: “Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama MPR, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungorgatan des willens des Statsvolkes).  Majelis ini menetapkan UUD dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Mejelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedangkan presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis (Mandataris) dari Majelis. Presiden wajib menjalankan putusan-putusan Majelis, dan “tidak neben” akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.
Namun menurut UUD 1945 hasil amandemen 2002 kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD (pasar 1 ayat 2). Hal ini berarti terjadi suatu reforasi kekuasaan tertinggi dalam negara secara kelembagaan tertinggi negara, walaupun esensinya tetap rakyat yang memiliki kekuasaan. MPR menurut UUD 1945 hasil amandemen 2002, hanya memiliki kekuasaan melakukan perubahan  UUD, melantik Presiden sesuai masa jabatan, atau jikalau melanggar suatu konstitusi. Oleh karena itu sekarang presiden Bersifat ‘neben’ bukan ‘Untergeordnet’ , karena presiden dipilih langsung oleh rakyat, UUD 1945 hasil amandemen 2002, pasal 6A ayat (1).
                         iv.       Presiden ialah Penyelenggara Pemerintahan Negara yang Tertinggi di Samping MPR dan DPR
Kekuasaan Presiden menurut UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen, dinyatakan dalam penjelasan UUD 1945, sebagai berikut:
“Dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah pernyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan Presiden (Concentration of power responsibility upon the president).”
Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen 2002, presiden merupakan penyelenggara pemerintahan tertingi di samping MPR dan DPR, karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat UUD 1945 pasal 6A ayat (1). Jadi menurut UUD 1945 ini  tidak lagi merupakan mandataris MPR, melainkan dipilih langsung oleh rakyat.
                           v.      Presiden Tidak Bertanggungjawab Kepada DPR
Sistem ini menurut UUD 1945 sebelum amandemen dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945, namun dalam UUD 1945 hasil amandemen 2002 juga memiliki isi yang sama, sebagai berikut:
“Disamping presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk Undang-Undang (Gezetzgebung) pasal 5 ayat (1) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbergrooting) sesuai dengan pasal 23. Oleh karena itu Presiden harus bekerja sama dengan Dewan akan tetapi Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung Dewan.
                         vi.       Menteri Negara ialah Pembantu Presiden, Meteri Negara tidak Bertanggungjawab Kepada Dewan Perwakilan Raykat
Sistem ini dijelaskan dalam UUD 1945 hasil amandemen 2002 maupun dalam penjelasan UUD 1945, sebagai berikut:
“Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahannya dibantu oleh menteri-menteri negara (Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen), Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri-Menteri Negara (Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen 2002). Menteri-menteri Negara itu tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”
                       vii.      Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak-Terbatas
Sistem ini dinyatakan secara tidak eksplisit dalam UUD 1945 hasil amandemen 2002 dan masih sesuai dengan  penjelasan UUD 1945 dijelaskan sebagai berikut:
Menurut UUD 1945 hasil amandemen 2002, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung (UUD hasil amandemen 2002 pasal 6A ayat (1). Dengan demikian dalam sistem kekuasaan kelembagaan negara Presiden tidak lagi merupakan mandataris MPR bahkah sejajar dengan DPR dan MPR. Hanya jikalau Presiden melanggar UU maupun UUD, maka MPR dapat melakukan Impeachment.
Meskipun kepala negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan “Diktator”, artinya kekuasaan tidak tak-terbatas. Diatas telah ditegaskan bahwa ia bukan mandataris Permusyawaratan Rakyat, namun demikian ia tidak dapat membubarkan DPR maupun MPR kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR.
             VI.            NEGARA INDONESIA ADALAH NEGARA HUKUM
Menurut penjelasan UUD 1945, negara Indonesia adalah negara Hukum, negara Hukum yangberdasarkan Pancasila dan bukan berdasarkan atas kekuasaan. Sifat negara hukum hanya dapat ditunjukkan jikalau alat-alat perlengkapannya bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasai untuk mendapatkan aturan-aturan itu
          Ciri-ciri suatu negara Hukum adalah:
1.       Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
2.       Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.
3.       Jaminan kepastian hukum, yaitu kaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.
Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkkan jiwa bangsa Indonesia harus menjiwaii semua peraturan hukum dan pelaksaannya, ketentuan ini menunjukkan bahwa di negara Indonesia dijamin adanya perlindungan hak-hak asasi manusia berdasarkan ketentuan hukum, bukan kemauan seseorang yang menjadi dasar kekuasaan. Menjadi suatu kewajiban bagi setiap penyelenggaraan negara untuk menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila yang selanjutnya melakukan pedoman peraturan-peraturan pelaksanaan. Disamping itu sifat hukum yang berdasarkan Pancasila, hukum mempunyai fungsi pengoyaman agar cita-cita luhur bangsa Indonesia tercapai dan terpelihara.
Namun demikian untuk menegakkan hukum demi keadilan dan kebenaran perlu adanya badan-badan kehakiman yang kokoh kuat yang tidak mudah dipengaruhi oleh lembaga-lembaga lainnya. Pemimpin eksekutif (Presiden) wajib bekerja sama dengan badan-badan kehakiman untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan sehat.
Dalam era reformasi dewasa ini bangsa Indonesia benar-benar akan mengembalikan peranan hukum, aparat penegak hukum beserta seluruh sistem peraturan perundang-undangan akan dikembalikan pada dasar-dasar negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 amandemen 2002 yang mengemban amanat demokrasi dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
Adapun pembangunan hukum di Indonesia sesuai dengan tujuan negara hukum, diarahkan pada terwujudnya sistem hukum yang mengabdi pada kepentingan nasional terutama rakyat, melalui penyusunan materi hukum yang bersumberkan pada Pancasila sebagai sumber filosofinya dan UUD 1945 sebagai dasar konstitusionalnya, serta aspirasi rakyat sebagai sumber materialnya.

- Copyright © MyBlog -SOFTSKILL- Powered by MYBLOG - Designed by Parista Dwi Putra -