- Back to Home »
- INFLATION TARGETING FRAMEWORK
Posted by : Unknown
Senin, 16 November 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Krisis yang melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997 telah membawa
pengaruh negatif yang signifikan terhadap laju perekonomian Indonesia. Krisis
ini mengakibatkan nilai tukar rupiah terdepresiasi dan terkurasnya cadangan
devisa Indonesia. Menghadapi tekanan terhadap rupiah yang kian besar dan
kebutuhan mengamankan cadangan devisa, maka 14 Agustus 1997, pemerintah
melakukan pergantian sistem nilai tukar dari sistem nilai tukar mengambang
terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang. Namun di balik pergantian
sistem nilai tukar ini, Indonesia mencapai puncak krisis pada tahun 1998,
dimana krisis yang bermula dari krisis moneter telah berubah cepat menjadi
krisis multidimensi. Kondisi ini telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi sempat
terhenti bahkan mengalami pertumbuhan yang negatif, dimana Pendapatan Domestik
Bruto (PDB) mengalami penurunan dari 4,70 persen menjadi -13,13 persen, laju
inflasi meningkat sangat tinggi dari 11,10 persen menjadi 77,63 persen, serta
nilai tukar rupiah pada bulan Juni 1998 mencapai Rp 14.900 per dollar AS.
Pemerintah terus berusaha memulihkan kondisi perekonomian akibat krisis.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan penataan
kembali kelembagaan di bidang moneter. Pemberlakuan UndangUndang (UU) No. 23
Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia merupakan tindak lanjut upaya pemerintah.
Berdasarkan UU tersebut, Bank Indonesia menjadi lebih independent dalam
mencapai tujuan dan melaksanakan tugasnya, dimana kebijakan moneter yang
ditempuh oleh Bank Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan (inflation targeting). Pemberlakuan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia telah membawa perubahan mendasar pada perumusan dan pelaksanaan
kebijakan moneter di Indonesia. Berdasarkan UU tersebut, kebijakan moneter yang
ditempuh Bank Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan. Sejak tahun 2000 Bank Indonesia mulai menempuh langkah untuk
penerapan kerangka kerja kebijakan moneter berdasarkan suatu kerangka yang
dikenal dengan sebutan Inflation Targeting Framework. Hal ini tercermin pada
penetapan dan pengumuman sasaran inflasi sebagai tujuan utama kebijakan
moneter, penjelasan secara periodik kepada masyarakat mengenai pelaksanaan
kebijakan moneter yang ditempuh, maupun pemberian independensi kepada Bank
Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud
dengan Inflasi?
2. Apa yang dimaksud
dengan Inflasi Targeting Fromework dan penerapannya?
3. Apa yang mempengaruhi Akuntabilitas
Perkembangan inflasi?
4. Mengapa Dipilihnya ITF?
5. Bagaimana Implementasi model ITF di
Indonesia?
1.3 TUJUAN
1. Agar dapat mengetahui
apa yang dimaksud dengan Inflasi
2. Agar dapat mengetahui
apa yang dimaksud dengan ITF dan Penerapannya
3. Agar dapat mengetahui apa yang mempengaruhi Akuntabilitas Perkembangan
inflasi
4. Agar dapat mengetahui
mengapa dipilihnya ITF
5. Agar dapat Mengetahui bagaimana
Implementasi Model ITF di Indonesia
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Inflasi
Pengertian Inflasi adalah kebijakan ekonomi di mana bank sentral
memperkirakan dan mempublikasikan "target" yang diproyeksikan atau
inflation rate dan kemudian mencoba untuk mengarahkan ke arah target inflasi
aktual melalui penggunaan dan perubahan suku bunga ataupun alat-alat moneter
lainnya. Suku bunga dan tingkat inflasi cenderung berbanding terbalik , maka
kemungkinan bank sentral untuk menaikkan atau menurunkan suku bunga menjadi
lebih transparan dalam kebijakan penargetan inflasi. Inflasi diartikan juga sebagai meningkatnya
harga-harga secara umum dan terus menerus.Contoh:
Sasaran Inflasi Sejak tahun 2000 Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan
sasaran inflasi yang akan dicapai melalui kebijakan moneternya. Sasaran inflasi
saat ini pada tahun 2011 adalah sebesar 5,3%. Untuk dasar perumusan kebijakan
moneter secara internal, Bank Indonesia mengembangkan jenis inflasi yang dapat
dikendalikan oleh kebijakan moneter (inflasi inti/core inflation). Dengan
amandemen UU No.3 Tahun 2004 terhada
3.2 Pengertian
Inflamation Targeting Framework (ITF)
Inflation Targeting Framework merupakan kerangka kerja kebijakan moneter
yang relatif baru digunakan. Kerangka kerja kebijakan moneter pertama kali
diterapkan oleh Selandia Baru tahun 1990 dan kemudian semakin banyak negara
lain (Chili, Kanada, Brasil, Australia, Israel, Mexico, Korea, Thailand, Afrika
Selatan, Republik Ceko, Polandia, Hungaria, dan lain-lain) menerapkannya
sebagai langkah mendasar dalam memperkuat efektifitas penerapan kebijakan
moneternya. Secara umum, kerangka kebijakan ini diyakini dapat membantu bank
sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga dengan menentukan
sasaran kebijakan moneter secara eksplisit dengan berdasarkan pada proyeksi dan
target inflasi tertentu ke depan. Bagaimana kerangka dasar inflation targeting
tersebut umumnya diterapkan di bank – bank sentral lain dan bagaimana langkah –
langkah yang ditempuh Bank Indonesia dalam penerapan kerangka kerja dimaksud
akan dijelaskan berikut ini.
Jika inflasi tampaknya berada di bawah target, bank kemungkinan akan
menurunkan suku bunga. Hal ini biasanya (tidak selalu) memiliki efek dari waktu
ke waktu mempercepat ekonomi dan meningkatkan inflasi. UU No.23 Tahun 1999
secara implisit mengamanatkan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia
mendasarkan pada kerangka kerja yang dikenal dengan Inflation Targeting, yaitu
:
1.
Adanya pengaturan dan pemahaman bahwa
tujuan utama kebijakan moneter adalah kestabilan harga;
2.
Adanya penetapan dan pengumuman sasaran
inflasi kepada masyarakat;
3.
Adanya pengaturan bahwa sasaran inflasi
merupakan sasaran akhir dan sebagai dasar perumusan dan pelaksanaan kebijakan
moneter;
4.
Adanya pemberian independensi kepada
Bank Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneternya;
5.
Adanya kewajiban bagi Bank Indonesia
untuk menjelaskan pelaksanaan kebijakan moneternya kepada masyarakat sebagai
wujudan azas transparansi;
6.
Adanya mekanisme akuntabilitas bagi bank sentral untuk
mempertanggungjawabkan dan dinilai kinerjanya dalam pelaksanaan kebijakan
moneter oleh DPR.
ITF atau Inflation Targeting Framework juga bisa
diartikan sebagai sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan
pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam
beberapa periode ke depan. ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang
ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak
dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa
inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter.
Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya
dapat dikategorikan sebagai “Inflation Targeting lite countries”.
Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan
tujuan utama dari kebijakan moneter. Hubungan ITF dengan inflansi adalah ITF
merupakan kebijakan moneter yang digunakan pemerintah untuk mengendalikan
inflansi.
3.3 Penerapan
Inflation Targeting Framework (ITF)
Dalam penerapan ITF pemerintah tidak bisa langsung
seenaknya menggunakan ITF sebagai kebijakan moneter, tetapi pemerintah harus
memenuhi syarat-syarat berikut :
A.
Menciptakan independensi bank sentral.
Ada beberapa independensi yang dimiliki bank sentral,
tapi yang terpenting adalah independensi instrumen. Artinya, bank sentral
memiliki kebebasan untuk menentukan dan menggunakan setiap instrumen kebijakan
tanpa diganggu oleh kepentingan pihak lain ( eksekutif dan legislatif).
Gangguan yang sering terjadi berasal dari sisi fiskal, yaitu kebijakan
pembiayaan defisit anggaran melalui pencetakan uang baru (seignarage). Jika hal
ini terjadi, maka sangat sulit bagi bank sentral untuk mengontrol jumlah uang
beredar (money supply) yang memenuhi dua kepentingan sekaligus. Untuk alas an
itu, maka dominasi fiskal dalam model ITF merupakan suatu keharusan.
B.
Menghindari target-target nominal selain inflasi.
Tidak adanya target nominal selain inflasi, misalnya target nilai tukar.
Secara teoritis dan empirik inflasi memiliki hubungan yang erat dengan nilai
tukar. Akibatnya, memilih target inflasi berarti mengorbankan target nilai
tukar. Jika inflasi yang dipilih untuk dijadikan target atau sasaran akhir
kebijakan moneter, maka perekonomian harus menerima konsekuensi dari berapapun
besarnya nilai tukar.
3.4 Alasan
Pemilihan ITF
A. Pemilihan
kerangka kerja kebijakan moneter IT didasarkan atas beberapa pertimbangan
sebagai berikut :
a) Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter
yang sehat (sound).
b) Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004.
c) Hasil riset menunjukkan semakin
sulit pengendalian besaran moneter.
d) Pengalaman empiris negara lain
menunjukkan bahwa negara yang menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa
meningkatkan volatilitas output.
e) Dapat meningkatkan kredibilitas BI
sebagai pengendali inflasi melalui komitmen pencapaian target.
B. Penerapan
ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja,
dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan
perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu kaidah yang
kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk
perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti
membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero
inflation).
C. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka
panjang, justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
(suistanable growth). Penyebabnya, karena tingkat inflasi berkorelasi positif
dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat,
sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di
masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena
tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit,
dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat
investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang
investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali
berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru
kebijakan yang pro pertumbuhan.
3.5 Implementasi Model ITF di
Indonesia
Implementasi
model ITF di Indonesia dimulai pada tahun 2000, pada tahun itu krisis krisis
ekonomi dan keuangan belum sepenuhnya pulih. Krisis moneter yang terjadi sejak
medio 1997 yang kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomi serta krisis
multidimesional memberi pelajaran berharga berupa kesadaran tentang perlunya
meredefenisi implementasi kebijakan moneter dan kedudukan bank sentral dalam
perekonomian Indonesia.
Kredibilitas
Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral merosot tajam pada masa krisis, karena
digunakan sebagai instrumen oleh pemerintah untuk menyelamatkan bank-bank umum
yang sebagian besar dimiliki oleh para konglomerat yang dekat dengan kekuasan.
Kredibilitas BI semakin terpuruk, ketika dana yang disalurkan ke bank-bank umum
tidak digunakan secara benar oleh para pemiliknya, yang pada akhirnya bermuara
pada kasus BLBI yang sampai sekarang penyelesaian tidak jelas. Menyadari
merosotnya kredibilitas BI dan kegagalan kebijakan moneter yang bersasaran
ganda (multiple objectives).
Pemerintah
RI dibawah presiden BJ. Habibie mengambil inisiatif untuk meletakkan kembali
posisi BI pada posisi yang sebenarnya. Usaha tersebut terwujud dengan
diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No.13 tahun 1968
Tentang Bank Sentral. UU No. 23/1999 tang BI membawa implikasi yang sangat
penting, karena BI diberikan independensi dalam menjalankan kebijakan moneter.
Dengan UU
yang baru, BI menjadi lembaga yang independen dan bebas dari intervensi, baik
pemerintah maupun legislatif. Berbeda dengan UU yang lama, dimana BI dibebani
tugas kebijakan moneter yang bersasaran ganda (multiple objectives). UU yang
baru hanya memberikan satu tugas kepada BI yaitu menjaga stabilitas Rupiah. BI
diamantkan untuk mengarahkan kebijakannya kepada pencapaian sasaran inflasi.
Dalam terminologi kebijakan moneter, arahan UU yang baru adalah mencapai
sasaran inflasi seperti ini dikategorikan sebagai Inflation Targeting (BI,
2004).
UU
No.23/1999 memberikan independensi kepada BI berupa goal independency yaitu
suatu keadaan dimana besaran sasaran inflasi yang harus dicapai oleh BI,
ditetapkan sepenuhnya oleh BI sendiri. Bentuk independensi seperti ini pada
perkembangan menimbulkan kontroversi yang luas di masyarakat. Oleh banyak
kalangan, BI dinilai kurang objektif karena menetapkan target untuk dirinya
sendiri, sementara yang harus mewujudkan adalah juga BI (Ismail, 2006).
Di samping
itu, kewenangan BI untuk menetapkan besaran inflasi secara sepihak, dinilai
terlalu berlebihan oleh publik. Artinya, BI bentuk independensi seperti
mendapat resistensi oleh banyak kalangan. Kuatnya tekanan kepada BI, kemudian
mendorong DPR untuk melakukan amandemen terhadap UU No. 23/1999 yang menghasilkan
UU No.3/2004 tentang BI. Meskipun terjadi perubahan UU, BI tetap menjadi
lembaga yang independen, hanya saja, bentuk independensinya berbeda, yaitu dari
semula goal independency menjadi intrumental independency. Intrumental
independency adalah keadaan dimana BI memiliki kewenangan penuh untuk
menentukan instrumen-instrumen apa yang akan digunakan dalam mewujudkan tujuan
akhir kebijakan moneter. Intrumental independency merupakan modal dasar dari
implementasi model ITF di Indonesia.
Implementasi
model inflation targeting di Indonesia tampaknya sesuai dengan implementasi
model ini di manca negara, dimana langkah awalnya adalah menciptakan aturan
tentang independensi bank sentral sebelum secara resmi implementasi inflation
targeting. Sejak awal BI sangat optimistis dengan model kebijakan ini (BI,
2007), disamping karena memiliki independensi bank sentral, juga karena secara
historis di Indonesia sudah sejak lama tidak ditemukan adanya dominasi fiskal
dalam kebijakan moneter. Pembiayaan defisit anggaran dengan cara pencetakan
uang baru (seignorage) sudah sejak lama tidak dipraktikkan. Sejak ORBA
berkuasa, deficit anggaran dibiayai dengan utang luar negeri. Untuk alasan itu,
Intrumental independency yang dimiliki oleh BI sudah cukup kuat karena tidak
diganggu oleh dominasi fiskal sehingga sudah siap untuk menerapkan model ITF.
3.6 Implementasi Strategi ITF ( Inflation Targeting Framework )
Penerapan strategi penargetan
inflasi membutuhkan beberapa keputusan, karena pemilihan target inflasi tidak
terlepas dari masalah rentang waktu (time lag). Adapun implementasi
tersebut diantaranya :
a)
Sebagai aturan
umum, untuk transparansi maksimum, ukuran luas paling relevan untuk perhitungan
pendapatan riil untuk rumah tangga dan kesejahteraan rumah tangga pada
akhirnya menjadi tujuan kebijakan moneter. Namun, untuk memastikan bahwa
kebijakan moneter tidak bereaksi terhadap fluktuasi acak dan bersifat
sementara, indeks harus dikecualikan pada setidaknya putaran pertama
dampak perubahan harga komponen volatil dan harga yang tidak akan
mempengaruhi trend utama dalam inflasi. Dalam membuat pilihan seperti indeks
inflasi, Bank Sentral harus memastikan bahwa masyarakat memahami kebijakan yang
diambil dan tidak mendapatkan kesan bahwa bank sentral telah memilih indeks ini
menjadi salah satu indeks alternatif dalam rangka menjamin keberhasilan
penargetan tersebut.
b)
Sebagai contoh,
saat ini sasaran inflasi di Meksiko ditetapkan dengan cara yang asimetris.
Pendekatan ini berguna dalam transisi dari tingkat inflasi yang tinggi ke tingkat
inflasi yang moderat. Dalam hal ini bank sentral memilih untuk mengumumkan
kisaran target inflasi yang akan dicapai untuk memberikan kestabilan terhadap
perekonomian.
c)
Target Inflasi
dapat diatur untuk satu atau lebih dari setahun. Dalam prakteknya, target
kurang dari satu tahun atau lebih dari lima tahun tampaknya tidak akan
berpengaruh dikarenakan adanya perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat inflasi setiap tahunnya. Dalam membuat pilihan target inflasi, bank
sentral harus mempertimbangkan implikasi definisi indeks harga yang ditargetkan
secara spesifik. Di satu sisi, stabilitas harga membawa manfaat yang besar bagi
Inflasi. Bahkan pada tingkat yang moderat, menciptakan distorsi ekonomi
signifikan yang selanjutnya akan menciptakan peningkatan efisiensi dalam
perekonomian. Di Meksiko, masalah inflasi yang tinggi diperparah dengan akses
ke bank yang masih terbatas untuk penduduk.
d)
Selain itu juga
sangatlah penting untuk membangun kredibilitas, peran strategi penargetan
inflasi harus tidak berlebihan setidaknya untuk dua alasan. Pertama, akan sulit
untuk mencapai semua keberhasilan, dengan menurunkan atau mempertahankan
inflasi yang rendah di suatu negara. Seringkali, perubahan dalam strategi yang
disertai dengan perubahan yang lebih mendasar pada kerangka kerja kelembagaan
untuk kebijakan moneter dalam hal peningkatan transparansi, independensi dan
akuntabilitas. Kedua, harus diingat bahwa pada akhirnya kredibilitas adalah
faktor yang penting dalam menentukan kinerja bank sentral dalam mengontrol
kestabilan inflasi ( inflasi yang rendah).
3.7 Langkah-Langkah Kebijakan
Moneter
Langkah-langkah kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia dalam
penerapan inflation targeting menyangkut kerangka strategis, mekanisme
transisi, kerangka operasional, proses perumusan kebijakan, maupun mekanisme
pengendalian moneter.
Pokok – pokok konsep dasar penerapan inflation targeting adalah sebagai
berikut:
Transparansi Penjelasan secara periodik mengenai pelaksanaan kebijakan
moneter dilakukan oleh Bank Indonesia baik pada setiap awal tahun, triwulan,
bulanan, maupun mingguan. Dalam setiap penjelasan itu dikemukakan mengenai
perkembangan pencapaian inflasi dan pelaksanaan kebijakan moneter yang telah
dilakukan serta proyeksi ekonomi dan inflasi ke depan dan arah kebijakan
moneter yang akan ditempuh sebagaimana dibahas dan diputuskan dalam RDG .
Penjelasan dilakukan melalui penerbitan laporan tahunan dan laporan triwulanan
yang pemuatannya di sejumlah media massa dan konferensi pers (jika perlu).
3.8 Kebijakan Moneter Mengarah
Kedepan
Kebijakan moneter yang ditempuh BI diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi
yang ditetapkan ke depan. BI telah mengembangkan model-model proyeksi ekonomi,
nilai tukar, dan inflasi serta berbagai penelitian yang diperlukan untuk
memperkuat perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter secara forward looking.
Hingga tahun 2003, operasi pengendalian moneter untuk pencapaian sasaran
inflasi dilakukan dengan sasaran operasional uang primer. Mulai tahun 2004, BI
secara bertahap beralih ke suku bunga sebagai sasaran operasional seperti yang
dilakukan di bank-bank sentral lain yang menerapkan kerangka inflation
targeting. ·p UU No.23 Tahun 1999, sasaran inflasi yang semula ditetapkan oleh Bank
Indonesia diubah menjadi ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi
dengan Bank Indonesia.
Akuntabilitas BI diwajibkan untuk menyampaikan laporan tahunan dan laporan
triwulanan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenangnya, termasuk kebijakan
moneter kepada DPR. Laporan tersebut dievaluasi oleh DPR dalam rangka penilaian
secara tahunan atas kinerja Dewan Gubernur dan Bank Indonesia. Berdasarkan UU
No.3 Tahun 2004, Bank Indonesia dilarang memberikan pinjaman kepada pemerintah
untuk membiayai pengeluaran fiskal, kecuali dalam rangka pemberian fasilitas
pembiayaan darurat atas beban APBN dalam rangka mengatasi krisis perbankan yang
bersifat sistemik dan mengancam perekonomian nasional.
Kemudian sistem nilai tukar yang dianut adalah sistem nilai tukar
mengambang senagaimana diisyaratkan dalam penerapan kerangka inflation
targeting. Mengenai indikator harga yang relevan dengan kebijakan moneter, Bank
Indonesia juga telah mengembangkan pengukuran inflasi inti dan model penetapan
sasaran inflasi bersasar pada inflasi IHK dengan memperhitungkan perkembangan
ekonomi dan keuangan. Meskipun berbagai langkah persiapan dan penguatan
kebijakan moneter telah dan terus dilakukan BI, penerapan kerangka inflation
targeting ini tidaklah mudah. Hal ini terutama terkait dengan kondisi
perekonomian dan sistem perbankan yang sedang mengalami perubahan struktural.
Meskipun kredit perbankan telah mengalami peningktanan, tingkat pertumbuhannya
belum optimal dan pemamfaatannya oleh sektor riil masih relatif rendah karena
banyak dunia usaha yang masih menghadapi restrukturisasi usaha dan
kewajibannya.
Permasalahan fungsi intermediasi perbankan yang belum berjalan normal pada
akhirnya telah mempengaruhi efektifitas mekanisme transmisi dan kebijakan
moneter yang ditempuh Bank Indonesia. Dengan kondisi demikian, langkah-langkah
kebijakan moneter Bank Indonesia, misalnya dengan perubahan suku bunga SBI,
tidak selalu dapat secara efektif mempengaruhi perkembangan suku bungan
perbankan maupun berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan secara keseluruhan
yang diperlukan mencapai sasaran inflasi yang diterapkan. Perkembangan inflasi
juga tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan moneter, tetapi juga oleh kebijakan
pemerintah di bidang harga (administered prices), seperti perubahan harga BBM,
upah minimum, tarif listrik dan telepon, serta oleh gangguan di sisi produksi
dan distribusi barang karena kondisi sektor riil yang belum pulih. Melemahnya
nilai tukar juga menjadi faktor lain penyebab tidak mudahnya mengendalikan dan
mencapai sasaran inflasi. Perbaikan kondisi perekonomian dan perbankan
diharapkan akan terus berlangsung ke depan dengan didukung oleh perbaikan
kondisi sosial poitik nasional.
Dengan perbaikan tersebut, penerapan kerangka kebijakan moneter berdasar
Inflation Targeting secara penuh dengan suku bunga sebagai sasaran operasional
yang telah dicanangkan Bank Indonesia diharapkan dapat berjalan dengan baik.
Tabel perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi di Indonesia Tahun Target
Inflasi Inflasi Aktual(%)
2001 4% - 6% = 12,55 %
2002 9% - 10% = 10,03
%
2003 9 +1% = 5,06 %
2004 5,5 +1% = 6,40 %
2005 6 +1% = 17,11 % ,
dst.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Pemberlakuan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah membawa
perubahan mendasar pada perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter di
Indonesia. Berdasarkan UU tersebut, kebijakan moneter yang ditempuh Bank
Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan. Sejak tahun
2000 Bank Indonesia mulai menempuh langkah untuk penerapan kerangka kerja
kebijakan moneter berdasarkan suatu kerangka yang dikenal dengan sebutan
Inflation Targeting Framework. Penerapan kerangka kerja kebijakan moneter
sebagai langkah mendasar dalam memperkuat efektifitas penerapan kebijakan
moneternya. Kerangka kebijakan ini diyakini dapat membantu bank sentral untuk
mencapai dan memelihara kestabilan harga dengan menentukan sasaran kebijakan
moneter secara eksplisit dengan berdasarkan pada proyeksi dan terget inflasi
tertentu ke depan. Pokok – pokok konsep dasar penerapan inflation targeting
adalah :
·
Sasaran Inflasi
·
Kebijakan moneter mengarah ke depan
·
Transparansi
·
Akuntabilitas
Perkembangan inflasi dipengaruhi oleh kebijakan moneter, kebijakan
pemerintah di bidang harga (administered prices), juga oleh gangguan di sisi
produksi dan distribusi barang karena kondisi sektor riil yang belum pulih.
Melemahnya nilai tukar dapat menyebabkan tidak terkendali dan tidak tercapainya
sasaran inflasi. Perbaikan kondisi perekonomian dan perbankan diharapkan akan
terus berlangsung ke depan dengan didukung oleh perbaikan kondisi sosial poitik
nasional. Dengan perbaikan tersebut, penerapan kerangka kebijakan moneter
berdasar ITF secara penuh dengan suku bunga sebagai sasaran operasional yang
telah dicanangkan Bank Indonesia diharapkan dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Mishkin S, Frederic.
2001. Inflation Targeting Valint. Tuesday, November 16, 2010. Inflation
Targeting: blogspot Yogi. 2008. Evaluasi Penerapan Inflation Targeting di
Indonesia Warjiyo, Perry.2004. Bank Indonesia Bank sentral Republik Indonesia
Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank
Indonesia Sumber lain: http://htysite.co.tv/indonesia%20inflasi%202010.htm
www.wikipedia.com